1887–1922:
Awal mula
Juventus
didirikan dengan nama Sport Club Juventus pada pertengahan tahun 1897 oleh
siswa-siswa dari sekolah Massimo D'Azeglio Lyceum di daerah Liceo D’Azeglio, Turin. Awal mula
dibentuknya klub ini adalah sebagai pelampiasan dari anak-anak
yang saling berteman dan menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama dan
bersenang-senang serta melakukan berbagai hal positif. Usia anak-anak tersebut
rata-rata 15 tahunan, yang tertua berumur 17 dan lainnya di bawah 15 tahun.
Setelah itu, hal yang mungkin tidak jadi masalah sekarang ini tapi merupakan
hal yang terberat bagi pemuda-pemuda tersebut saat itu adalah mencari markas
baru. Salah satu pendiri Juventus, Enrico Canfari dan teman-temannya kemudian
memutuskan untuk mencari sebuah lokasi dan akhirnya mereka menemukan salah satu
tempat yaitu sebuah bangunan yang memiliki halaman yang dikelilingi tembok,
mempunyai 4 ruangan, sebuah kanopi dan juga loteng dan keran air minum.
Selanjutnya, Canfari menceritakan tentang bagaimana terpilihnya nama klub,
segera setelah mereka menemukan markas baru. Akhirnya, tibalah pertemuan untuk
menentukan nama klub dimana terjadi perdebatan sengit di antara mereka. Di satu
sisi, pembenci nama latin, di sisi lain penyuka nama klasik
dan sisanya netral. Lalu, diputuskanlah tiga nama untuk dipilih; "Societa
Via Port", "Societa sportive Massimo D’Azeglio", dan "Sport
Club Juventus". Nama terakhir belakangan dipilih tanpa banyak keberatan
dan akhirnya resmilah nama klub mereka menjadi "Sport Club Juventus",
tetapi kemudian berubah nama menjadi Foot-Ball Club Juventus dua tahun kemudian.
Klub ini lantas bergabung dengan Kejuaraan Sepak Bola Italia pada tahun 1900.
Dalam periode itu, tim ini menggunakan pakaian warna pink dan celana hitam.
Juve memenangi gelar Seri-A perdananya pada 1905, ketika mereka bermain di Stadio Motovelodromo Umberto I.
Di sana klub ini berubah warna pakaian menjadi hitam putih, terinspirasi dari
klub Inggris Notts County.
Foto bersejarah, Juventus FC pada tahun 1898.
Pada
1906, beberapa pemain Juve secara mendadak menginginkan agar Juve keluar dari
Turin. Presiden Juve saat itu, Alfredo Dick kesal dan ia memutuskan hengkang
untuk kemudian membentuk tim tandingan bernama FBC Torino
yang kemudian menjadikan Juve vs. Torino sebagai Derby della
Mole. Juventus sendiri ternyata tetap eksis walaupun ada perpecahan,
bahkan bisa bertahan seusai Perang Dunia I.
Juventus FC pada tahun 1903.
1923–1980:
Masuknya Keluarga Agnelli dan merajai Italia
Pemilik
FIAT, Edoardo
Agnelli mengambil alih kendali Juventus pada 1923, dimana kemudian
ia membangun stadion baru.
Hal ini memberikan semangat baru untuk Juventus, dimana pada musim 1925-26, mereka
berhasil menjadi scudetto dengan mengalahkan Alba Roma
dengan agregat 12-1. Pada era 1930-an, klub ini menjadi klub super di Italia
dengan memenangi gelar lima kali berturut-turut dari 1930 sampai 1935, dibawah
asuhan pelatih Carlo Carcano, dan beberapa pemain bintang
seperti Raimundo Orsi, Luigi
Bertolini, Giovanni Ferrari dan Luis Monti.
Omar Sivori, John Charles, dan Giampiero Boniperti di era 1950-an.
Juventus
kemudian pindah kandang ke Stadio Comunale, tetapi di akhir 1930-an
dan di awal 1940-an mereka gagal merajai Italia. Bahkan mereka harus mengakui
tim sekota mereka, A.C. Torino. Secercah prestasi kemudian muncul di musim
1937-38 saat Juve menjuarai Piala Italia pertama mereka setelah di final
mengalahkan klub sekota mereka, Torino.
Setelah
berada di posisi 6 pada musim 1940-41, Juve lantas merebut Piala Italia kedua
mereka di musim berikutnya. Di periode ini, Italia ikut Perang Dunia II dan ini
membuat jalannya Liga menjadi terhambat. Sepakbola Italia kemudian memutuskan
untuk terus berlangsung saat masa perang berjalan. Pada 1944, Juve ikut serta
dalam sebuah turnamen lokal, yang akhirnya urung diselesaikan. Pada 14 Oktober,
Liga kembali bergulir dan ditandai dengan derby Torino vs. Juventus. Torino
yang saat itu mendapat sebutan "Grande Torino" kalah 2-1 dari
Juventus. Namun di akhir musim justru Torino berhasil juara. Pada jeda musim
panas, sebuah peristiwa penting terjadi di Juve pada 22 Juli 1945, Gianni
Agnelli mengambil alih posisi presiden klub, meneruskan tradisi
keluarga Agnelli. Dalam kepempinannya, Agnelli mendatangkan Giampiero Boniperti
dalam jajaran staffnya. Ditambah amunisi baru seperti Muccinelli dan striker
asal Denmark John Hansen. Setelah Perang Dunia II usai Juve berhasil menambah
dua gelar Seri-A pada 1949–50 dan 1951–52, dibawah kepelatihan orang Inggris, Jesse Carver.
Gianni
Agnelli lantas meninggalkan klub pada 18 September 1954. Tahun ini periode
gelap Juve dimulai dengan hanya mampu finish di posisi 7. Musim berikutnya, di
bawah arahan manajer Puppo yang mengandalkan skuat muda Juve mulai mencoba
bangkit. Setelah serangkaian kekalahan karena skuat yang belum matang, pada
November 1956 kabar baik berembus dengan masuknya Umberto Agnelli sebagai
komisioner klub. skuat menjadi kuat dengan kedatangan beberapa pemain hebat
seperti Omar Sivori
dan pemuda Wales bernama John Charles yang menemani para punggawa lama
seperti Giampiero Boniperti. Musim 1957-58, Juve
kembali berjaya di Seri-A, dan menjadi klub Italia pertama yang mendapatkan
bintang kehormatan karena telah memenangi 10 gelar Liga Seri-A. Di musim yang
sama, Omar Sivori terpilih menjadi pemain Juventus pertama yang memenangi gelar
Pemain Terbaik Eropa. Juve juga berhasil memenangi Coppa Italia setelah
mengalahkan ACF Fiorentina di final. Boniperti pensiun di
1961 sebagai top skorer terbaik Juventus sepanjang masa dengan 182 gol di semua
kompetisi yang ia ikuti bersama Juventus.
Di
era 1960-an, Juve hanya sekali memenangi Seri-A yaitu di musim 1966–67. Tetapi
pada era 1970-an, Juve kembali menemukan jatidirinya sebagai klub terbaik
Italia. Di bawah arahan Čestmír Vycpálek, Juve berusaha bangkit di
musim 1971-72. Di paruh pertama musim, Juve belum stabil dalam permainan dan di
paruh kedua mereka berhasil kembali ke performa terbaik terutama saat mencapai
final Fairs Cup (cikal bakal Piala UEFA) namun kalah dari Leeds United.
Di pekan ke-4 liga, Juve kemudian berhasil mengalahkan AC Milan 4-1 di San Siro
ditandai permainan apik Bettega dan Causio. Namun beberapa saat kemudian,
Bettega harus istirahat karena sakit dan posisi pertama klasemen milik Juve
menjadi terancam. Untungnya mereka berhasil konsisten dan merebut scudetto
ke-14 mereka. Selanjutnya di musim 1972-73 Juve kedatangan Dino Zoff
dan Jose Altafini
dari Napoli. Di musim ini, Juve dihadapkan pada jadwal di Seri-A dan kompetisi
Eropa. Setelah berjuang sampai menit akhir, Juve berhasil menyalip AC Milan,
yang secara mengejutkan kalah dipertandingan terakhir mereka, dan merebut
scudetto ke-15. Juve juga bahkan berhasil masuk final Piala Champions musim
tersebut, namun di mereka kalah dari Ajax
Amsterdam yang dimotori oleh Johan Crujff.
Selanjutnya mereka berhasil menambah tiga gelar lagi bersama defender Gaetano
Scirea
1981–1993: Scudetto
ke-20 dan merajai Eropa
Era
tangan dingin Trapattoni benar-benar membuat Seri-A porak poranda di 1980-an.
Juve sangat perkasa di era tersebut, dengan gelar Seri-A empat kali di era
tersebut. Setelah 6 pemainnya ikut andil dalam timnas Italia yang menjuarai Piala Dunia
1982 dengan Paolo Rossi sebagai salah satu pemain Juve
kemudian terpilih menjadi Pemain Terbaik Eropa pada 1982, sesaat setelah
berlangsungnya Piala Dunia pada tahun tersebut. Ditambah dengan kedatangan
bintang Prancis Michel Platini, Juventus kembali difavoritkan
di musim 1982-83. Namun Juventus yang juga disibukkan dengan jadwal kejuaraan
Eropa memulai kompetisi dengan lambat. Hal itu ditunjukkan dengan menelan
kekalahan dari Sampdoria di pertandingan pembuka musim serta menang dengan
tidak meyakinkan atas Fiorentina dan Torino. Sementara di Eropa, mereka
berhasil menyingkirkan Hvidovre (Denmark) dan Standard
Liege (Belgia) di penyisihan. Akan tetapi, Juventus kembali ke trek
juara di musim dingin bersamaan keberhasilan mereka menembus perempat final
Liga Champions. Selanjutnya, kemenangan atas Roma melalui 2 gol dari Platini
dan Brio membuat jarak keduanya berselisih 3 poin dengan Roma di posisi puncak.
Namun, karena konsentrasi Juve terpecah antara Serie A dan Liga Champions
akhirnya tidak berhasil mengejar AS Roma yang menjadi juara. Juventus
seharusnya bisa menumpahkan kekecewaannya di Liga saat mereka bertemu Hamburg
di final Liga Champions tapi hal itu tidak terjadi. Berada di posisi kedua di
kompetisi domestic dan Eropa, Juventus akhirnya berhasil merebut gelar
penghibur saat menjuarai Piala Italia dan Piala Interkontinental.
Musim
panas 1983, Juve kehilangan dua pilar inti mereka. Dino Zoff gantung sepatu di
usia 41 tahun sedangkan Bettega beralih ke Kanada untuk mengakhiri karirnya di
sana. Juve lantas merekrut kiper baru dari Avellino: Stefano Tacconi dan
Beniamino Vinola dari klub yang sama. Sementara Nico Penzo menjadi pendampong
Rossi di lini depan. Juve pada saat itu berkonsentrasi penuh di dua kompetisi,
Liga dan Piala Winner. Hasilnya, melalui penampilan yang konsisten sepanjang
musim, Juve merengkuh gelar liga satu minggu sebelum kompetisi usai. Dan gelar
ini ditambah gelar lainnya di Piala Winner saat mereka mengalahkan Porto 2-1 di
Basel pada 16 Mei 1984. Dua gelar ini sangat bersejarah dan merupakan prestasi
bagi kapten klub Scirea dan kawan-kawan.
Michel Platini, bintang Juventus era 1980-an.
Setelah
era keemasan Rossi usai, Michel Platini kemudian secara mengejutkan
berhasil menjadi pemain terbaik Eropa tiga kali berturut-turut; 1983, 1984 dan
1985, dimana sampai saat ini belum ada pemain yang bisa menyamai dirinya.
Juventus menjadi satu-satunya klub yang mampu mengantarkan pemainnya menjadi
pemain terbaik Eropa sebanyak empat tahun berurutan. Platini juga menjadi bintang saat Juve
berhasil menjadi juara Liga Champions Eropa pada 1985 dengan
sumbangan satu gol semata wayangnya. Tragisnya, final melawan Liverpool FC
dari Inggris tersebut yang berlangsung di Stadion Heysel Belgia, harus dibayar
mahal dengan kematian 39 tifoso Juventus akibat terlibat kerusuhan
dengan para hooligans dari Liverpool. Sebagai hukuman, tim-tim Inggris dilarang
mengikuti semua kejuaraan Eropa selama lima tahun. Juventus kemudian merebut
scudetto terakhir mereka di era 1980-an pada musim 1985-86, yang juga menjadi
tahun terakhir Trappatoni di Juventus. Memasuki akhir 1980-an, Juve gagal
menunjukkan performa terbaiknya, mereka harus mengakui keunggulan Napoli dengan
bintang Diego Maradona, dan kebangkitan dua tim kota
Milan, AC Milan
dan Inter Milan.
Pada 1990, Juve pindah kandang ke Stadio delle Alpi, yang dibangun untuk
persiapan Piala Dunia 1990.
1994–2003:
Era Marcello Lippi
Marcello
Lippi mengambil alih posisi manajer Juventus pada awal musim 1994-95.
Ia lantas mengantarkan Juventus memenangi Seri-A untuk pertama kalinya sejak
pertengahan 1980-an di musim 1994-95. Pemain bintang yang ia asuh saat itu
adalah Ciro Ferrara,
Roberto
Baggio, Gianluca Vialli dan pemain muda berbakat
bernama Alessandro Del Piero. Lippi memimpin
Juventus untuk memenangi Liga Champions Eropa pada musim itu juga, dengan
mengalahkan Ajax Amsterdam melalui adu penalti, setelah
skor imbang 1-1 pada babak normal, dimana Fabrizio Ravanelli menyumbangkan satu gol untuk
Juve.
Sesaat
setelah bangkit kembali, para pemain Juventus yang biasa-biasa saja saat itu
secara mengagumkan bisa mengembangkan diri mereka menjadi pemain-pemain
bintang. Mereka adalah Zinedine Zidane, Filippo
Inzaghi dan Edgar Davids. Juve kembali memenangi Seri-A
musim 1996–97 dan 1997–98, termasuk juga Piala Super Eropa 1996 dan Piala
Interkontinental 1996.[29]
Juventus juga mencapai final Liga Champions di musim 1997 dan 1998, tetapi
mereka kalah oleh Borussia Dortmund (Jerman) dan Real Madrid
(Spanyol).
Setelah
dua musim absen karena dikontrak oleh Inter Milan (dan gagal), Marcello Lippi
kembali ke Juventus di awal 2001. Pria penyuka cerutu ini lantas membawa
beberapa pemain biasa, yang kembali ia berhasil sulap menjadi pemain hebat, di
antaranya Gianluigi Buffon, David Trézéguet, Pavel Nedvěd
dan Lilian Thuram,
dimana para pemain tersebut membantu Juve kembali memenangi dua gelar Seri-A di
musim 2001-02 dan 2002-03. Juve juga berhasil maju kembali ke final Liga
Champions, sayangnya mereka kalah oleh sesama tim Italia lain, AC Milan.
Tahun berikutnya, Lippi diangkat menjadi manajer timnas Italia setelah bersaing
ketat dengan Fabio Capello, dan mengakhiri eranya sebagai
pelatih terbaik Juventus di era 1990-an dan awal 2000-an.
2004–2011:
Terjerat masalah dan masa pemulihan
Mantan
pemain Juventus era 1970-an, Fabio Capello
diangkat menjadi pelatih Juve pada 2004. Ia membawa timnya menjuarai dua musim
Seri-A di musim 2004-05 dan 2005-06. Sayangnya, di Mei 2006 Juve ketahuan
menjadi salah satu klub Seri-A yang terlibat skandal pengaturan skor bersama AC Milan,
AS Roma,
SS Lazio,
dan ACF
Fiorentina. Juve terkena sanksi berat, dimana mereka terpaksa di
degradasi ke seri-B untuk pertama kali dalam sejarah. Dua gelar yang dibawa
Capello juga harus direlakan untuk dicabut.
Dibawah
manajer muda Perancis, Didier Deschamps dan para pemain setia seperti
Gianluigi Buffon dan Pavel Nedved, Juve menjadi tim super di Seri-B dan dengan
hasil sebagai juara seri-B untuk pertama kalinya, Juve kembali ke Seri-A pada
musim 2007-08. Claudio Ranieri diangkat menjadi pelatih Juve
setelah Deschamps berseteru soal bayaran gaji. Sayangnya usia Ranieri juga
tidak berlangsung lama setelah ia gagal membawa Juve juara di musim 2008-09. Mantan pemain Juve lain, Ciro Ferrara
mulai bertugas menangani Juve di dua pertandingan akhir musim 2008-09 dan
melanjutkan posisinya untuk musim 2009-10. Namun Ferrara pun tidak bisa
bertahan lama, karena di bulan Januari 2010 ia gagal membawa Juve berprestasi
lebih baik setelah kandas di babak penyisihan grup Liga Champions. Ia pun
akhirnya digantikan oleh Alberto Zaccheroni. Zaccheroni menangangi
Juventus sampai akhir musim 2009-10 dan kemudian ia digantikan oleh Luigi Del
Neri untuk musim 2010-11. Namun setelah serentetan hasil buruk di
paruh musim kedua, manajemen Juventus akhirnya memutuskan untuk memecat Del
Neri tidak lama setelah musim berakhir, dan ia digantikan oleh mantan bintang
Juventus di era 1990-an, Antonio Conte untuk musim 2011-12.
2012–sekarang:
Kembali ke jalur juara
Di
bawah asuhan pelatih baru Antonio Conte yang merupakan mantan pemain Juve di
masa silam, Si Nyonya Tua kembali menemukan jati dirinya yang hilang dalam
beberapa musim terakhir dan keluar sebagai Scudetto di akhir musim 2011-12.
Juventus pun mencatat rekor meyakinkan sampai musim berakhir yaitu tidak
terkalahkan sepanjang musim sekaligus menjadi klub pertama dalam sejarah Seri A
yang tidak terkalahkan dalam format Seri A yang mengikut sertakan 20 klub. Juve
pun kembali membuktikan diri sebagai salah satu klub yang paling kuat dalam
segi bertahan dengan hanya kebobolan 20 kali, dan menjadi klub terbaik kedua
Eropa di musim 2011-12 yang mencatat rekor paling sedikit kebobolan. Juventus
pun berhasil mempertahankan gelar Scudetto-nya di musim 2012-13 dan juga
berhasil melaju sampai babak perempatfinal Liga Champions di musim yang sama
sebelum dihentikan Bayern Munich. Dan hingga kemarin
tanggal 5 Mei 8.00 waktu setempat Juventus berhasil Kalahkan Palermo &
Rebut Scudetto. Dengan 80
poin dari 34 laga, Juve kini unggul 11 angka dari Napoli di posisi kedua.
Dengan hasil seri saja, Juve akan unggul 12 poin jika Napoli kalah dan meski Il
Partenopei menang pun, 'Si Nyonya Tua' masih akan unggul head to head dari klub
asal Naples itu di akhir musim jika poin keduanya sama.
Maka
wajar ekspetasi tinggi tercipta di kubu Juve mengingat mereka tinggal sejengkal
lagi menuju Scudetto ke-29 sepanjang sejarah klub itu. Mengingat lawannya
adalah Palermo yang masih berkubang di zona degradasi, tak sulit bagi Claudio Marchisio
dkk meraih tiga poin.
Hal
itu pula yang diinginkan Conte dari anak asuhnya pada laga pekan ke-35 besok
untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tak diinginkan di sisa musim ini,
semisal Napoli mampu menyalip mereka. Meskipun Rosanero
tak menyerah begitu saja mengingat mereka butuh angka penuh juga demi lolos
dari ancaman turun kasta musim depan.
"Kami
harus memenangi Scudetto besok. Kami bisa langsung menuju garis finis dan kami
harus melakukanna, tanpa halangan apapun. Ini adalah musim yang sulit dan
melelahkan dan kami sudah berada di puncak klsaemen dari pekan pertama. Ini
jarang terjadi tapi merupakan pencapaian luar biasa," ungkap Conte di Football Italia.
"Dalam
dua tahun terakhir kami melebihi ekspetasi yang diharapkan dan terima kasih
kepada semua pihak, dari presiden Andrea Agnelli dan juga Direktur Beppe
Marotta serta tim. Saya mempercayai pemain saya dan selalu meminta pendapat
mereka," sambungnya.
"Ketika
saya datang banyak yang memprediksi kami akan lolos ke Liga Europa untuk saat
ini. Kini kami malah di ambang titel juara kedua beruntun. Kami sudah menaikkan
standar kami, tapi saya membayangkan berapa besarnya, terkait kami sudah
mencapai hasil maksimal saat ini."
Juventus FC 2012/2013 |
No comments:
Post a Comment